Rabu, 29 Februari 2012

_"makalah sejarah Palembang"_


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Palembang merupakan kota tertua di Indonesia, umurnya diperkirakan sejak adanya kerajaan Sriwijaya pada 16 Juni 682 Masehi. Selain kerajaan Sriwijaya, di Palembang juga berdiri Kesultanan Palembang Darussalam, yang mencapai masa puncaknya bersama penyebaran ajaran Islam, di nusantara. Sebelum berdiri Kesultanan Palembang Darussalam, telah berdiri kerajaan Palembang, dari Kiyai Gede Sedo Ing Lautan hingga Pangeran Sedo Ing Rejek. Saat itu, Palembang menjadi wilayah kekuasaan Denmak, dan Mataram. Baru di masa Pangeran Ario Kesumo, Palembang memutuskan hubungan dengan Mataram.
Pangeran Ario Kesumo mendirikan Kesultanan Palembang Darussalam. Sebagai sultan pertama, dia bergelar Sultan Abdurrahman Kholifatul Mukminin Sayyidul Iman, yang memerintah dari tahun 1659 - 1706. Dalam tahun 1703, beliau menobatkan seorang puteranya anak dari Ratu Agung sebagai Raja Palembang Darussalam yang kedua dengan gelar Sultan Muhammad Mansur Jayo Ing Lago (1706 - 1714). Dalam tahun 1709 Sultan Muhammad Mansur menobatkan puteranya yang sulung, Raden Abubakar, menjadi Pangeran Ratu Purboyo. Pewaris mahkota ini tidak sempat menjadi raja karena wafat teraniaya.
Sultan Muhammad Mansur digantikan oleh adiknya (sesuai dengan wasiatnya) bernama Raden Uju yang kemudian dinobatkan menjadi Sultan Palembang Darussalam yang ketiga, bergelar Sultan Agung Komaruddin Sri Truno (1714 - 1724).
Kemudian beliau digantikan oleh kemenakannya Jayo Wikramo dengan gelar Sultan Mahmud Badaruddin I Jayo Wirokramo, yaitu Sultan Palembang Darussalam yang keempat memerintah dari tahun 1724 - 1758. Sultan Palembang Darussalam yang kelima adalah Pangeran Adikesumo, putera kedua dari Sultan Mahmud Badaruddin I, adik dari Raden Jailani Pangeran Ratu yang wafat kena amuk, dengan gelar Sultan Ahmad Najamuddin I, dan memerintah dari tahun 1758 - 1776.
Sultan Ahmad Najamuddin I digantikan putera mahkota yang setelah dinobatkan menjadi Sultan Palembang Darussalam bergelar Sultan Muhammad Bahaudin. Raja ini memerintah dari tahun 1776 - 1803. Raja yang keenam ini wafat pada hari Isnen tanggal 21 Zulhijjah tahun 1218 H. Waktu Asyar (3 April 1803). Sultan Muhammad Bahauddin digantikan putera sulungnya, Raden Hasan Pangeran Ratu dengan gelar Sultan Mahmud Badaruddin II, sebagai Sultan Palembang Darussalam yang ke tujuh dan memerintah dari tahun 1803 - 1821. Baru sewindu memegang tampuk pemerintahan, datanglah Inggris menyerbu Palembang (1811).
Sultan Mahmud Badaruddin II hijrah kepedalaman meneruskan perang gerilya, setelah mewakilkan pemerintahan Kesultanan kepada adiknya Pangeran Adipati dengan gelar Sultan Mudo. Inggris mengakui sebagai raja Palembang dengan gelar Sultan Ahmad Najamuddin II (Susuhunan Husin Dhiauddin), memerintah dari tahun 1812 - 1813. Pada tahun 1813, Sultan Mahmud Badaruddin II kembali ke Palembang, memegang tampuk pemerintahan Kesultanan (1813 - 1821). Saat itu, Sultan Mahmud Badaruddin II menobatkan putera sulungnya menjadi raja dengan gelar Sultan Ahmad Najamuddin Pangeran Ratu (1819 - 1821), kemudian Sultan Mahmud Badaruddin bergelar Susuhunan.
Setelah Sultan Mahmud Badaruddin II diasingkan (1821) beliau digantikan putera sulung Sultan Ahmad Najamuddin II (Susuhunan Bahauddin) bernama Raden Ahmad dengan gelar Sultan Ahmad Najamuddin Prabu Anom (1821 - 1823). Sultan Ahmad Najamuddin Prabu Anom juga melakukan perlawanan terhadap Belanda. Dia ditangkap kemudian dibuang ke Banda, lalu ke Manado. Sampai saat ini makamnya belum ditemukan. Lantaran seringnya para Sultan Palembang melakukan perlawanan, tahun 1825, Belanda akhirnya membubarkan Kesultanan Palembang Darussalam.


1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari makalah ini adalah:
1. Jelaskan Latar Belakang Terjadinya Kesultanan Palembang ?
2. Jelaskan Silsilah Kesultanan Palembang ?
3. Jelaskan Bagaimana Sistem Pemerintahan Kesultanan Palembang ?

1.3 Tujuan
            Adapun tujuan dari makalah ini adalah:
  1. Agar mengetahui latar belakang kesultanan Palembang
  2. Agar mengetahui silsilah kesultanan Palembang
  3. Agar mengetahui sistem pemerintahan kesultanan Palembang
















BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Latar Belakang Munculnya Kesultanan Palembang
Sejarah mengenai Kesultanan Palembang dapat dimulai pada pertengahan abad ke-15 pada masa hidupnya seorang tokoh bernama Ario Dillah atau Ario Damar. Beliau adalah seorang putera dari raja Majapahit yang terakhir, yang mewakili kerajaan Majapahit bergelar Adipati Ario Damar yang berkuasa antara tahun 1455-1486 di Palembang Lamo, yang sekarang ini letaknya di kawasan 1 ilir. Pada saat kedatangan Ario Damar ke Palembang, penduduk dan rakyat Palembang sudah banyak yang memeluk agama Islam dan Adipati Ario Damar pun mungkin kemudian memeluk agama Islam, konon namanya berubah menjadi Ario Abdillah atau Ario Dillah.
Ario Dillah mendapat hadiah dari Raja Majapahit terakhir Prabu Kertabumi Brawijaya V salah seorang isterinya keturunan Cina yang telah memeluk Islam dan dibuatkan istana untuk Puteri. Pada saat putri ini diboyong ke Palembang ia sedang mengandung, kemudian lahir anaknya yang bernama Raden Fatah. Raden Fatah ini lahir di istana Ario Dillah di kawasan Palembang lama (1 ilir), tempat itu dahulu dinamakan Candi ing Laras, yaitu sekarang terletak di antara PUSRI I dan PUSRI II. Raden Fatah dipelihara dan dididik oleh Ario Dillah menurut agama Islam dan menjadi seorang ulama Islam. Sementara itu hasil perkawinan Ario Dillah dengan putri Cina tersebut, lahir Raden Kusen yaitu adik Raden Fatah namun bapanya berbeda.
Setelah kerajaan Majapahit bubar karena desakan kerajaan-kerajaan Islam, Sunan Ngampel, sebagai wakil Walisongo, mengangkat Raden Fatah menjadi penguasa seluruh Jawa, menggantikan ayahnya. Pusat kerajaan Jawa dipindahkan ke Denmak. Atas bantuan dari daerah-daerah lainnya yang sudah lepas dari Majapahit seperti Jepara, Tuban, Gresik, Raden Fatah mendirikan Kerajaan Islam dengan Denmak sebagai pusatnya (kira-kira tahun 1481). Raden Fatah memperoleh gelar Senapati Jimbun Ngabdu’r-Rahman Panembahan Palembang Sayidin Panata’Gama.

2.1.1 Hubungan Palembang dengan Demak
Raja Kerajaan Denmak Raden Fatah wafat tahun 1518 dan digantikan puteranya Pati-Unus atau Pangeran Sabrang Lor yang wafat tahun 1521, kemudian digantikan saudara Pati-Unus yaitu Pangeran Trenggono yang wafat pada tahun 1546 (makam-makam mereka ada di halaman Mesjid Denmak). Setelah Pangeran Trenggono wafat terjadi perebutan kekuasaan antara saudaranya (Pangeran Seda ing Lepen) dan anaknya (Pangeran Prawata). Pangeran Seda ing Lepen akhirnya dibunuh oleh Pangeran Prawata. Kemudian Pangeran Prawata beserta keluarganya dibunuh pada tahun 1549 oleh anak Pangeran Seda ing Lepen yang bernama Arya Penangsang atau Arya Jipang.
 Demikian juga menantu Raden Trenggono yang bernama Pangeran Kalinyamat dari Jepara juga dibunuh. Arya Penangsang sendiri dibunuh oleh Adiwijaya juga seorang menantu Pangeran Trenggono atau terkenal dengan sebutan Jaka Tingkir yang menjabat Adipati penguasa Pajang. Akhirnya Keraton Denmak dipindah oleh Jaka Tingkir ke Pajang dan habislah riwayat Kerajaan Denmak. Kerajaan Denmak hanya berumur 65 tahun yaitu dari tahun 1481 sampai 1546. Dalam kemelut yang terjadi atas penyerangan Demak oleh Pajang ini, berpindahlah 24 orang keturunan Pangeran Trenggono (atau Keturunan Raden Fatah) dari kerajaan Demak ke Palembang, dipimpin oleh Ki Gede Sedo ing Lautan yang datang melalui Surabaya ke Palembang dan membuat kekuatan baru dengan mendirikan Kerajaan Palembang, yang kemudian menurunkan raja-raja, atau sultan-sultan Palembang.
Keraton pertamanya di Kuto Gawang, pada saat ini situsnya tepat berada di kompleks PT. Pusri, Palembang. Dari bentuk keraton Jawa di tepi sungai Musi, para penguasanya beradaptasi dengan lingkungan melayu di sekitarnya. Terjadilah suatu akulturasi dan asimilasi kebudayaan jawa dan melayu, yang dikenal sebagai kebudayaan Palembang.
2.1.2 Hubungan Palembang dengan Mataram
Pindahnya pusat kerajaan Jawa dari Demak ke Pajang menimbulkan pergolakan baru setelah wafatnya Jaka Tingkir. Pajang yang diperintah Arya Pangiri diserang oleh gabungan dua kekuatan, dari Pangeran Benowo (putra Jaka Tingkir yang tersingkir) dan kekuatan Mataram (dipimpin Panembahan Senapati atau Senapati Mataram, putra Kyai Ageng Pemanahan atau Kyai Gede Mataram). Akhirnya Arya Pangiri menyerah kepada Senapati Mataram dan Kraton Pajang dipindahkan ke Mataram (1587) dan mulailah sejarah Kerajaan Jawa Mataram. Senapati Mataram sendiri merupakan keturunan Raden Fatah dan Raden Trenggono yang masih meneruskan dinastinya di Jawa, sehingga dapat dipahami eratnya pertalian antara Palembang dan Mataram pada masa itu, yang terus berlanjut hingga masa pemerintahan Raja Amangkurat I (silsilah raja yang keempat).
Sampai akhir 1677 Palembang masih setia kepada Mataram yang dianggap sebagai pelindungnya, terutama dari serangan kerajaan Banten. Sultan Muhammad (1580 – 1596) dari Kesultanan Banten pada tahun 1596 pernah menyerbu Palembang (diperintah Pangeran Madi Angsoko) dengan membawa 990 armada perahu, yang berakhir dengan kekalahan Banten dan wafatnya Sultan Muhammad. Penyerbuan ini dilakukan atas anjuran Pangeran Mas, putra Arya Pangiri dari Denmak. Tetapi tidak lama kemudian terdapat golongan yang ingin memisahkan diri dari ikatan dengan Jawa khususnya generasi mudanya. Sementara itu kekuasaan raja-raja Mataram juga berangsur berkurang karena makin bertambahnya ikut campur kekuasaan VOC Belanda di Mataram, sehingga dengan demikian kekuasaan dan hubungan dengan daerah-daerah seberang termasuk Palembang juga merenggang.

2.1.3 Hubungan Palembang dengan VOC
Palembang yang semula merupakan bagian dari kekuasaan Mataram mulai mengadakan hubungan dengan VOC, dengan demikian timbul kecurigaan dari penguasa Mataram dan dampaknya adalah makin renggangnya hubungan Palembang dengan Mataram. Kontak pertama Palembang dengan VOC pada tahun 1610. Pada awalnya VOC tidak banyak berhubungan dengan penguasa Palembang, selain saingan dari Inggris dan Portugis serta Cina, juga sikap penguasa Palembang yang tidak memberikan kesempatan banyak kepada VOC. VOC menganggap penguasa Palembang terlalu sombong dan menurut VOC hanya dengan kekerasan senjatalah kesombongan Palembang dapat dikurangi, sebaliknya Palembang tidak mudah digertak begitu saja.
Semasa pemerintahan Pangeran Sideng Kenayan yang didampingi istrinya Ratu Sinuhun di Palembang dan Gubernur Jendral di Batavia Jacob Specx (1629-1632) telah dibuka Kantor perwakilan Dagang VOC (Factorij) di Palembang. Kontrak ditanda tangani tahun 1642, tetapi pelaksanaanya baru pada tahun 1662. Anthonij Boeij sejak tahun 1655 ditunjuk sebagai wakil pedagang VOC di Palembang dan sementara tetap tinggal di kapal karena belum punya tempat (loji) di darat. VOC sendiri telah sejak tahun 1619 ingin mendirikan loji (kantor) dan gudang di Palembang. Pembangunan loji dari batu mengalami kesulitan karena pada saat yang sama didirikan bangunan-bangunan antara lain kraton di Beringin Janggut, Masjid Agung dan lain lainnya.
Mula-mula loji didirikan di atas rakit, kemudian bangunan dari kayu yang letaknya di 10 Ulu sekarang diatas sebuah pulau yang dikelilingi sungai Musi, sungai Aur, sungai Lumpur serta sambungan dari sungai Tembok. Bangunan permanen dari batu baru dibuat pada tahun 1742. Tindak-tanduk mereka ini tidak menyenangkan orang Palembang karena antara lain ia menyita sebuah jung Cina bermuatan lada. Kemudian VOC menggantikannya dengan Cornelis Ockerz (dijuluki — si Kapitein Panjang) yang tadinya dicadangkan untuk jadi perwakilan di Jambi. Ockerz datang dua kali di bulan Juni 1658 ke Palembang yang terakhir ia menahan beberapa kapal diantaranya milik putra mahkota Mataram. Terjadi bentrokan yang kemudian dapat didamaikan. Pada tanggal 22 Agustus 1658 beberapa bangsawan Palembang (Putri Ratu Emas, Tumenggung Bagus Kuning Pangkulu, Pangeran Mangkubumi Nembing Kapal, Kiai Demang Kecek) naik ke atas kapal yacht Belanda, yang bernama Jacatra dan de Wachter, dan membunuh Ockerz beserta 42 orang Belanda lainnya serta menawan 28 orang Belanda. Peristiwa ini disebabkan karena kecurangan-kecurangan serta kelicikan orang-orang Belanda termasuk Ockerz.
Kemudian untuk membalas tindakan orang Palembang ini Belanda mengirimkan armadanya yang dipimpin Laksamana Johan Van der Laen dan pada tanggal 24 November 1659 membakar habis kota dan istana Sultan di Kota Gawang (1 llir). Pangeran Mangkurat Seda ing Rajek akhirnya menyingkir ke Indralaya (makamnya di Saka Tiga)






















2.2 Silisilah Kesultanan Palembang
Sultan Mahmud Badaruddin II adalah pemimpin kesultanan Palembang-Darussalam (1803-1819), setelah masa pemerintahan ayahnya, Sultan Mahmud Badaruddin. Dalam masa pemerintahannya, ia beberapa kali memimpin pertempuran melawan Britania dan Belanda, diantaranya yang disebut Perang Menteng. Tahun 1821, ketika Belanda secara resmi berkuasa di Palembang, Sultan Mahmud Badaruddin II ditangkap dan diasingkan ke Ternate.

2.2.1 Konflik dengan Britania
Sejak timah ditemukan di Bangka pada pertengahan abad ke-18, Palembang dan wilayahnya menjadi incaran Britania dan Belanda. Berdalih menjalin kontrak dagang, bangsa Eropa ini berniat menguasai Palembang. Awal bercokolnya penjajahan bangsa Eropa biasanya ditandai dengan penempatan loji (kantor dagang). Di Palembang, loji pertama Belanda dibangun pada tahun 1742 di tepi Sungai Aur (10 Ulu). Orang Eropa pertama yang dihadapi Sultan Mahmud Badaruddin II (SMB II) adalah Sir Thomas Stamford Raffles. Raffles tahu persis tabiat Sultan Palembang ini.
Karena itu, Raffles sangat menaruh hormat di samping ada kekhawatiran sebagaimana tertuang dalam laporan kepada atasannya, Lord Minto, tanggal 15 Desember 1810: “Sultan Palembang adalah salah seorang pangeran Melayu yang terkaya dan benar apa yang dikatakan bahwa gudangnya penuh dengan dollar dan emas yang telah ditimbun oleh para leluhurnya. Saya anggap inilah yang merupakan satu pokok yang penting untuk menghalangi Daendels memanfaatkan pengadaan sumber yang besar tersebut.”
Bersamaan dengan adanya kontak antara Britania dan Palembang, hal yang sama juga dilakukan Belanda. Dalam hal ini, melalui utusannya, Raffles berusaha membujuk SMB II untuk mengusir Belanda dari Palembang (surat Raffles tanggal 3 Maret 1811). Dengan bijaksana, SMB II membalas surat Raffles yang intinya mengatakan bahwa Palembang tidak ingin terlibat dalam permusuhan antara Britania dan Belanda, serta tidak ada niatan bekerja sama dengan Belanda. Namun akhirnya terjalin kerja sama Britania-Palembang, di mana pihak Palembang lebih diuntungkan.
Pada 14 September 1811, terjadi peristiwa pembumihangusan dan pembantaian di loji Sungai Alur. Belanda menuduh Britanialah yang memprovokasi Palembang supaya mengusir Belanda. Sebaliknya, Britania cuci tangan, bahkan langsung menuduh SMB II yang berinisiatif melakukannya. Raffles terpojok dengan peristiwa loji Sungai Aur, tetapi masih berharap dapat berunding dengan SMB II dan mendapatkan Bangka sebagai kompensasi kepada Britania. Harapan Raffles ini tentu saja ditolak SMB II. Akibatnya, Britania mengirimkan armada perangnya di bawah pimpinan Gillespie dengan alasan menghukum SMB II. Dalam sebuah pertempuran singkat, Palembang berhasil dikuasai dan SMB II menyingkir ke Muara Rawas, jauh di hulu Sungai Musi.
Setelah berhasil menduduki Palembang, Britania merasa perlu mengangkat penguasa boneka yang baru. Setelah menandatangani perjanjian dengan syarat-syarat yang menguntungkan Britania, tanggal 14 Mei 1812 Pangeran Adipati (adik kandung SMB II) diangkat menjadi sultan dengan gelar Ahmad Najamuddin II atau Husin Diauddin. Pulau Bangka berhasil dikuasai dan namanya diganti menjadi Duke of York’s Island. Di Mentok, yang kemudian dinamakan Minto, ditempatkan Meares sebagai residen. Meares berambisi menangkap SMB II yang telah membuat kubu di Muara Rawas. Pada 28 Agustus 1812 ia membawa pasukan dan persenjataan yang diangkut dengan perahu untuk menyerbu Muara Rawas.
Dalam sebuah pertempuran di Buay Langu, Meares tertembak dan akhirnya tewas setelah dibawa kembali ke Mentok. Kedudukannya digantikan oleh Mayor Robison. Belajar dari pengalaman Meares, Robison mau berdamai dengan SMB II. Melalui serangkaian perundingan, SMB II kembali ke Palembang dan naik takhta kembali pada 13 Juli 1813 hingga dilengserkan kembali pada Agustus 1813. Sementara itu, Robison dipecat dan ditahan Raffles karena mandat yang diberikannya tidak sesuai.

2.2.2 Konflik dengan Belanda
Konvensi London 13 Agustus 1814 membuat Britania menyerahkan kembali kepada Belanda semua koloninya di seberang lautan sejak Januari 1803. Kebijakan ini tidak menyenangkan Raffles karena harus menyerahkan Palembang kepada Belanda. Serah terima terjadi pada 19 Agustus 1816 setelah tertunda dua tahun, itu pun setelah Raffles digantikan oleh John Fendall. Belanda kemudian mengangkat Edelheer Mutinghe sebagai komisaris di Palembang. Tindakan pertama yang dilakukannya adalah mendamaikan kedua sultan, SMB II dan Husin Diauddin. Tindakannya berhasil, SMB II berhasil naik takhta kembali pada 7 Juni 1818. Sementara itu, Husin Diauddin yang pernah bersekutu dengan Britania berhasil dibujuk oleh Mutinghe ke Batavia dan akhirnya dibuang ke Cianjur. Pada dasarnya pemerintah kolonial Belanda tidak percaya kepada raja-raja Melayu. Mutinghe mengujinya dengan melakukan penjajakan ke pedalaman wilayah Kesultanan Palembang dengan alasan inspeksi dan inventarisasi daerah.
Ternyata di daerah Muara Rawas ia dan pasukannya diserang pengikut SMB II yang masih setia. Sekembalinya ke Palembang, ia menuntut agar Putra Mahkota diserahkan kepadanya. Ini dimaksudkan sebagai jaminan kesetiaan sultan kepada Belanda. Bertepatan dengan habisnya waktu ultimatum Mutinghe untuk penyerahan Putra Mahkota, SMB mulai menyerang Belanda. Pertempuran melawan Belanda yang dikenal sebagai Perang Menteng (dari kata Mutinghe) pecah pada 12 Juni 1819. Perang ini merupakan perang paling dahsyat pada waktu itu, di mana korban terbanyak ada pada pihak Belanda. Pertempuran berlanjut hingga keesokan hari, tetapi pertahanan Palembang tetap sulit ditembus, sampai akhirnya Mutinghe kembali ke Batavia tanpa membawa kemenangan.
 Belanda tidak menerima kenyataan itu. Gubernur Jenderal Van der Capellen merundingkannya dengan Laksamana JC Wolterbeek dan Mayjen Herman Merkus de Kock dan diputuskan mengirimkan ekspedisi ke Palembang dengan kekuatan dilipatgandakan. Tujuannya melengserkan dan menghukum SMB II, kemudian mengangkat keponakannya (Pangeran Jayaningrat) sebagai penggantinya. SMB II telah memperhitungkan akan ada serangan balik. Karena itu, ia menyiapkan sistem perbentengan yang tangguh. Di beberapa tempat di Sungai Musi, sebelum masuk Palembang, dibuat benteng-benteng pertahanan yang dikomandani keluarga sultan. Kelak, benteng-benteng ini sangat berperan dalam pertahanan Palembang. Pertempuran sungai dimulai pada tanggal 21 Oktober 1819 oleh Belanda dengan tembakan atas perintah Wolterbeek. Serangan ini disambut dengan tembakan-tembakan meriam dari tepi Musi.
Pertempuran baru berlangsung satu hari, Wolterbeek menghentikan penyerangan dan akhirnya kembali ke Batavia pada 30 Oktober 1819. SMB II masih memperhitungkan dan mempersiapkan diri akan adanya serangan balasan. Persiapan pertama adalah restrukturisasi dalam pemerintahan. Putra Mahkota, Pangeran Ratu, pada Desember 1819 diangkat sebagai sultan dengan gelar Ahmad Najamuddin III. SMB II lengser dan bergelar susuhunan. Penanggung jawab benteng-benteng dirotasi, tetapi masih dalam lingkungan keluarga sultan. Setelah melalui penggarapan bangsawan dan orang Arab Palembang melalui pekerjaan spionase, serta persiapan angkatan perang yang kuat, Belanda datang ke Palembang dengan kekuatan yang lebih besar. Tanggal 16 Mei 1821 armada Belanda sudah memasuki perairan Musi. Kontak senjata pertama terjadi pada 11 Juni 1821 hingga menghebatnya pertempuran pada 20 Juni 1821.
Pada pertempuran 20 Juni ini, sekali lagi, Belanda mengalami kekalahan. De Kock tidak memutuskan untuk kembali ke Batavia, melainkan mengatur strategi penyerangan. Bulan Juni 1821 bertepatan dengan bulan suci Ramadhan. Hari Jumat dan Minggu dimanfaatkan oleh dua pihak yang bertikai untuk beribadah. De Kock memanfaatkan kesempatan ini. Ia memerintahkan pasukannya untuk tidak menyerang pada hari Jumat dengan harapan SMB II juga tidak menyerang pada hari Minggu. Pada waktu dini hari Minggu 24 Juni, ketika rakyat Palembang sedang makan sahur, Belanda secara tiba-tiba menyerang Palembang. Serangan dadakan ini tentu saja melumpuhkan Palembang karena mengira di hari Minggu orang Belanda tidak menyerang.
Setelah melalui perlawanan yang hebat, tanggal 25 Juni 1821 Palembang jatuh ke tangan Belanda. Kemudian pada 1 Juli 1821 berkibarlah bendera rod, wit, en blau di bastion Kuto Besak, maka resmilah kolonialisme Hindia Belanda di Palembang. Tanggal 13 Juli 1821, menjelang tengah malam, SMB II beserta keluarganya menaiki kapal Dageraad dengan tujuan Batavia. Dari Batavia SMB II dan keluarganya diasingkan ke Ternate sampai akhir hayatnya 26 September 1852.

2.3  Pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin II
Kesultanan Palembang mengalami masa kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin II. Di dalam melawan penjajahan Belanda dan Inggris, Sultan Mahmud Baruddin II berhasil mengatasi politik diplomasi dan peperangan kedua bangsa tersebut. Sebelum jatuhnya Palembang dalam peperangan besar di tahun 1821, Sultan Mahmud Badaruddin II secara beruntun pada tahun 1819 telah dua kali mengahajar pasukan pasukan Belanda keluar dari perairan Palembang. Keperkasaan Sultan Mahmud Badaruddin II ini dinilai oleh Pemerintah Republik Indonesia adalah wajar untuk dianugrahi sebagai Pahlawan Nasional.

>Ada beberapa catatan sejarah yang terjadi di masa pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin II.
» Peristiwa Loji Sungai Aur (1811)
Hubungan perdagangan antara Belanda/VOC dengan Palembang sudah terjalin sejak permulaan abad ke-17, terutama menyangkut komoditi lada dan timah. Pada permulaan abad ke-19 terjadi perebutan kekuasaan di Nusantara antara Inggris dan Belanda. Peristiwa ini adalah dalam rangka perang yang terjadi di Eropa antara Inggris dan Perancis semasa kekuasaan Napoleon Bonaparte. geri Belanda menjadi bagian dari Perancis yaitu Bataafse Republik, oleh karena itu milik Belanda yang ada di Nusantara pun direbut oleh Inggris. Terjadi penyerbuan tentara Inggris yang berpangkalan di Malaka dan Penang ke Batavia/Jawa pada bulan Agustus 1811, kemudian penyerahan kekuasaan Belanda kepada Inggris tanggal 18-9-1811 di desa Tuntang, Jawa Tengah.
Mengetahui hilangnya kekuasaan Belanda setelah penyerbuan ke Batavia bulan Agustus 1811 tersebut, pada tanggal 14 September 1811 Sultan Mahmud Badaruddin II meminta Residen Belanda beserta pasukannya meninggalkan loji. la mula-mula menolaknya, kemudian 87 orang digiring naik ke kapal pada hari itu, rupanya mereka mengadakan perlawanan, oleh karena itu sampai di muara Sungsang mereka dibunuh semuanya dan kapal ditenggelamkan. Peristiwa ini dikenal dengan “penyembelihan massal(Palembang Massacre). Belanda menuding Raffles (Penguasa Inggris di Indonesia) sebagai biang keladinya karena menghasut Sultan melakukan itu, tetapi Raffles menolaknya dan menuduh Mahmud Badaruddin II yang bertanggung jawab mengenai hal ini.
Seminggu setelah pengusiran Belanda dari loji sungai Aur, maka loji tersebut dibakar habis serta dibongkar sampai fondasinya. Rupanya Sultan tidak ingin melihat adanya monumen Belanda yang masih tersisa meskipun hanya puing-puingnya.
» Penyerbuan Inggris ke Palembang tahun 1812
Hubungan Sultan Mahmud Badaruddin II dengan Raffles cukup baik sebelum takluknya Belanda dari Inggris. Tindakan Sultan yang menolak pembicaraan menyangkut timah Bangka dan tidak memberi kesempatan meninjau loji sungai Aur yang telah rata dengan tanah, dan pembunuhan orang-orang Belanda yang dianggap tak bermoral, merupakan alasan Raffles (penguasa Inggris di Indonesia) untuk mengirim sebuah ekspedisi militer di bawah Mayor Jendral Gillespie dari Batavia tanggal 20 Maret 1812. Sultan dengan pasukannya telah bersiap-siap menyambut ekspedisi tersebut dengan memperkuat kubu-kubu pertahanannya di sepanjang sungai Musi, dengan kubu-kubu meriam terapung, perahu-perahu bersenjata, rakit-rakit berisi bahan yang mudah terbakar untuk menghambat kedatangan armada Inggris serta di pusat pertahanannya di keraton (sekarang Benteng) dengan 242 pucuk meriam siap menghadapi musuh.
Tetapi karena pengkhianatan adiknya sendiri (Pangeran Adipati Najamuddin = Husin Dhiauddin) dan lebih unggulnya persenjataan musuh maka dalam waktu seminggu Palembang jatuh (24 April 1812). Sultan Mahmud Badaruddin II menyingkir ke pedalaman dengan membawa segala perlengkapan kerajaan dan hartanya. Gillespie menduduki kraton pada 25 April 1812 dan keesokan harinya bendera Inggris dikibarkan didalam Kraton. Adik Sultan (Najamuddin II) dinobatkan oleh Inggris dan harus menandatangani perjanjian pada 12 Mei 1812 yang isinya antara lain penyerahan Bangka dan Belitung kepada Inggris. Kapten Meares yang diangkat sebagai Residen Inggris ditugaskan mengejar Sultan Mahmud Badaruddin II dan terjadi pertempuran di Bailangu dengan kekalahan pihak Inggris, Meares tertembak dan akhirnya meninggal. Untuk mempertahankan posisinya Sultan mendirikan kubu-kubu pertahanan di Muara Rawas dan daerah-daerah pedalaman dengan demikian Sultan tidak dapat ditaklukkan.
Pengganti Kapten Meares yaitu Mayor Robison yang bertugas di Palembang mulai 13 Februari 1813. Ia rupanya agak kurang sependapat dengan kebijaksanaan Raffles, dan mengadakan perundingan dengan utusan S.M.B. II karena melihat beberapa pertimbangan sebagai berikut: Ketidak becusan Najamuddin II dan ketidak kepastian bantuan darinya, serta rakyat Palembang masih menghendaki kembalinya S.M.B. II (yang berakibat negeri Palembang dalam keadaan anarki). Perjanjian Muara Rawas pun dibuat pada 29 Juni 1813, yang menyatakan S.M.B. II dapat kembali ke Palembang dengan imbalan 200.000 dollar kepada pemerintah Inggris. Tanggal 13 Juli 1813 S.M.B. II kembali ke Palembang dan duduklah dia sebagai Sultan yang berdaulat. Tindakan Robison ini tentu saja tidak disetujui Raffles karena mengangkat kembali Sultan yang sudah dipecat Raffles.
Raffles mengirimkan sebuah komisi yang dipimpin Kapten George Elliot disertai pengganti Robison, M.H.Court, serta Mayor W.Colebrooke dan Letkol Mc.Gregor yang membawa 400 pasukan Eropa, yang mulai berangkat pada 7 Agustus 1813. Robison diberitahu bahwa segala tindakannya tidak dapat diterima dan ia dipecat kemudian ditahan. (Kemudian hari setelah ia bebas, ia mengadukan kepada penguasa Inggris di India dan di Inggris mengenai tindakan-tindakan Raffles yang tercela). Komisi tersebut memecat S.M.B. II setelah hanya sebulan bertahta dan mengangkat kembali Ahmad Najamuddin sebagai Sultan Palembang. Perdamaian antara Inggris dan Perancis di Eropa setelah jatuhnya Napoleon mempengaruhi politik di Nusantara. Perjanjian London 13 Agustus 1814 menetapkan bahwa Inggris harus menyerahkan kembali kepada Belanda semua koloninya di seberang lautan yang didudukinya sejak 1803.
Kebijaksanaan pemerintah Inggris ini kurang dapat tanggapan yang baik dari Raffles. Baru kemudian pada 29 Juni 1817 koloni Belanda di Nusantara dikembalikan setelah Raffles digantikan John Fendall. Raffles menetap di Bengkulu sebagai Residen Inggris. Komisaris (Residen) Belanda di Palembang ditunjuk Mutinghe.
» Perang Palembang I (1819)
Setelah kembalinya Belanda di Palembang, Mutinghe menonaktifkan Najamuddin II (Husin Dhiauddin) dan mengangkat kembali S.M.B. II. Husin Dhiauddin tidak senang dengan perlakuan ini dan mengadu kepada Raffles di Bengkulu. Raffles mengirimkan ekspedisi kira-kira 300 tentaranya ke Palembang melalui jalan darat. Terjadi insiden di Palembang, namun tentara pelopor Inggris yang ada di Palembang diusir oleh tentara Belanda, dikembalikan lewat laut ke Bengkulu. Selanjutnya Mutinghe memburu sisa tentara Inggris di Muara Beliti dan terjadi pertempuran di sana yang berakhir dengan perdamaian. Dengan adanya insiden ini maka Dhiauddin diasingkan ke Betawi dan Cianjur beserta para keluarganya.
Ketika Mutinghe kembali ke kota, ia diserang oleh pengikut-pengikut Badaruddin II, sehingga ia cepat-cepat mundur ke Palembang. Mutinghe menuduh Badaruddin II bertanggung jawab atas serangan pengikut-pengikutnya di pedalaman. Setelah mendaratkan tambahan 209 pasukan Belanda dari Jakarta, Mutinghe mengultimatum Badaruddin II untuk menyerahkan putra sulungnya sebagai jaminan. Hal ini menyebabkan kemarahan Badaruddin II. Terjadi pertempuran tanggal 11 – 15 Juni 1819 (istilah Palembang “Perang Menteng”) antara pasukan Sultan Mahmud Badaruddin II yang bertahan di Kraton (Benteng) dan pasukan Belanda di Kraton Lama dan di beberapa kapal perang. Pasukan Mutinghe dapat dihancurkan, dari semula 500 orang pasukan tinggal 350, Mutinghe bersama sisa pasukan ini lari ke Batavia.

» Perang Palembang II (1819)
Kekalahan Belanda bulan Juni 1819 tersebut sangat menyakitkan Belanda. Gubernur Jendral Van der Capellen bersama Panglima Angkatan Laut Laksamana Wolterbeek dan Panglima Angkatan Darat Mayjen De Kock merencanakan penyerbuan kembali ke Palembang. Dengan kira-kira 20 kapal perang dan 1500 tentara, pasukan Belanda berangkat dari Batavia (Jakarta) tanggal 22 Agustus 1819. Pada tanggal 30 Agustus 1819 mereka tiba di Mentok, di Bangka sebagian pasukan ini membantu memerangi perjuangan rakyat Bangka, dengan korban cukup banyak. Jika waktu penyerbuan Inggris tahun 1812 konsentrasi kekuatan Palembang dipusatkan di pulau Borang dan Pulau Salah Nama, tetapi dengan pengalaman pahit menghadapi Inggris tersebut maka pusat pertahanan dirubah.
Kali ini pertahanan ditempatkan sepanjang sungai Musi dengan penempatan meriam-meriam untuk mengganggu perjalanan armada Belanda. Konsentrasi dipusatkan di sekitar Plaju dan pulau Kembaro (Pulau Kemaro) dengan beberapa benteng yang diperlengkapi dengan ratusan meriam. Panglima perangnya adalah Putra mahkota (Pangeran Ratu, kemudian bergelar Najamuddin III). Dalam armada yang menyerbu ke Palembang ini beberapa anggota keluarga Husin Dhiauddin ikut diatas kapal membantu Belanda menunjukkan jalan.
Selanjutnya antara 18 September dan 30 Oktober 1819 terjadi pertempuran sepanjang sungai Musi dan di Palembang dengan hasil pasukan Belanda dipukul mundur dengan korban kira-kira 500 orang, sepertiga dari seluruh kekuatan semula. Dalam pelayaran mundur armada Belanda, tanggal 3 dan 4 November 1819 telah sampai di Sungsang lalu menyebrang ke Mentok. Ini merupakan kekalahan kedua dari Mutinghe. Dua minggu setelah armada Belanda meninggalkan Bangka ke Batavia, Residen Bangka Smissaert dipenggal kepalanya oleh para pejuang pimpinan Dipati Bahrin dan dipersembahkan kepada Badaruddin II sebagai tanda keberanian dan loyalitas pejuang Bangka.
Kemenangan Palembang dirayakan oleh rakyat dengan luapan kegembiraan. Pada bulan Desember 1819 Pangeran Ratu dinobatkan menjadi Sultan Ahmad Najamuddin III, menggantikan ayahnya. Sedangkan Mahmud Badaruddin II menjadi Susuhunan. Pasukan dari armada Wolterbeek sesampai di Mentok dibagi tiga, satu bagian yang luka-luka kembali ke Batavia, satu bagian bersama Wolterbeek berlayar ke kepulauan Riau. Satu bagian lagi membantu penumpasan perjuangan rakyat Bangka. Komandan tentara Belanda di Bangka dipimpin Letnan Keer. Pertempuran terbesar antara lain terjadi di Toboali. Para pemimpin di Bangka saat itu antara lain Raden Keling dan Raden Badar. Pertempuran di Bangka baru padam 1821.
» Perang Palembang III (1821)
Kekalahan pada perang-perang sebelumnya, menjadi perhatian serius bagi pihak Kerajaan Belanda dan pemerintah kolonial Belanda di Batavia. Mereka pun membuat suatu perencanaan yang lebih matang untuk menundukkan Palembang. Langkah ditempuh dengan mempersiapkan pasukan yang lebih kuat dan siasat memecah belah kerabat Kesultanan. Alur-alur pelayaran utama dari/ke Palembang diblokade angkatan laut Belanda. Meskipun begitu, jalannya pemerintahan Kesultanan tetap berjalan baik dan rakyat hidup makmur.
Perombakan pimpinan pasukan Kesultanan Palembang dilakukan untuk persiapan perang. Politik memecah belah Belanda terus dijalankan. Sultan Husin Dhiauddin dan keluarganya yang diasingkan ke Jawa dibujuk agar memihak Belanda. Pangeran Syarif Muhammad yang keturunan Arab ditugaskan untuk mempengaruhi orang-orang Arab yang dekat dengan Sultan Mahmmud Badaruddin II agar mengkhianatinya. Demikian juga dengan orang-orang Cina. Beberapa Priyayi Palembang diperalat untuk membocorkan rahasia pertahanan Sultan Mahmud Badaruddin II. Pangeran Akil dari Siak serta Pangeran Prang Wedono dari Mangkunegaran di Jawa Tengah membantu penumpasan perjuangan di Bangka dan penyerbuan ke Palembang.
Tanggal 8 Mei 1821 Ekspedisi penyerbuan ke Palembang dipimpin Mayjen De Kock dilepas Gubernur Jendral Van der Capellen di Batavia dengan upacara kebesaran. Armada berangkat dari Batavia pada 9 Mei 1821. Kekuatan armada lebih dari 100 kapal perang besar/kecil dan personil lebih dari 4000 orang, dipersenjatai lebih dari 400 meriam besar/kecil dan senjata-senjata lain. Kekuatan pasukan penyerbuan ke Palembang ini jauh lebih besar dari yang sebelumnya. Tanggal 13 Mei 1821 armada berhasil mencapai Mentok dan diperkuat dengan kapal-kapal dan personil yang bertugas memblokade Palembang, bersama-sama masuk ke sungai Musi. Pertempuran-pertempuran hebat berlangsung antara tanggal 22 Mei 1821 sampai 24 Juni 1821 sepanjang sungai Musi sampai Kertapati. Husin Dhiauddin membantu Belanda menujukkan jalan dan beserta keluarganya ikut dalam armada penyerbuan ini yaitu diatas kapal Fregat Jacob Elizabeth.
Berbeda dengan tahun 1819 waktu penyerbuan oleh Laksamana Wolterbeek banyak korban Belanda terjadi karena meriam-meriam maling yang ada sepanjang sungai Musi. Pada penyerbuan kali ini peta lokasi pertahanan Sultan telah diketahui Belanda semua melalui mata-mata orang-orang Palembang sendiri, sehingga Belanda dapat menghindar dari serangan meriam-meriam itu.
Dalam peperangan kali ini meskipun di pihak Belanda juga banyak jatuh korban (lebih dari 300 orang) tetapi pertahanan di Benteng-benteng Palembang akhirnya bobol. Cerucup-cerucup pancang penghalang kapal antara Pulau Kembaro dan Plaju dapat dicabuti semua oleh pihak Belanda, menggunakan peralatan yang khusus didatangkan dari negeri Beianda, sehingga memungkinkan sebagian besar kapal-kapal armada masuk ke tengah Palembang.
Pertahanan Palembang yang terakhir adalah di Benteng Kuto Besak, armada sudah berada di depannya. Tanggal 26 Juni 1821 Jendral De Kock mengirimkan surat kepada Badaruddin II yang isinya agar dia menyerah. Badaruddin menghadapi suatu dilema, yaitu jika bertahan sampai titik darah penghabisan akan terjadi pertempuran yang sangat dahsyat, yang akan mengorbankan seluruh rakyatnya dan keluarganya. Ternyata dia menunjukkan kebijaksanaanya yaitu menyerahkan kekuasaan Sultan kepada kemenakannya yaitu Prabu Anom putra saudaranya Husin Dhiauddin, menjadi Sultan Ahmad Najamuddin IV. Peritiwa ini terjadi tanggal 29 Juni 1821 dan oleh Husin Dhiahuddin dilaporkan kepada De Kock.

BAB III
KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan
Sultan Mahmud Badaruddin II adalah pemimpin kesultanan Palembang-Darussalam (1803-1819), setelah masa pemerintahan ayahnya, Sultan Mahmud Badaruddin. Dalam masa pemerintahannya, ia beberapa kali memimpin pertempuran melawan Britania dan Belanda, diantaranya yang disebut Perang Menteng. Tahun 1821, ketika Belanda secara resmi berkuasa di Palembang, Sultan Mahmud Badaruddin II ditangkap dan diasingkan ke Ternate.
Kesultanan Palembang mengalami masa kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin II. Di dalam melawan penjajahan Belanda dan Inggris, Sultan Mahmud Baruddin II berhasil mengatasi politik diplomasi dan peperangan kedua bangsa tersebut. Sebelum jatuhnya Palembang dalam peperangan besar di tahun 1821, Sultan Mahmud Badaruddin II secara beruntun pada tahun 1819 telah dua kali mengahajar pasukan pasukan Belanda keluar dari perairan Palembang. Keperkasaan Sultan Mahmud Badaruddin II ini dinilai oleh Pemerintah Republik Indonesia adalah wajar untuk dianugrahi sebagai Pahlawan Nasional.
Kesultanan Palembang mengalami masa kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin II. Di dalam melawan penjajahan Belanda dan Inggris, Sultan Mahmud Baruddin II berhasil mengatasi politik diplomasi dan peperangan kedua bangsa tersebut. Sebelum jatuhnya Palembang dalam peperangan besar di tahun 1821, Sultan Mahmud Badaruddin II secara beruntun pada tahun 1819 telah dua kali mengahajar pasukan pasukan Belanda keluar dari perairan Palembang. Keperkasaan Sultan Mahmud Badaruddin II ini dinilai oleh Pemerintah Republik Indonesia adalah wajar untuk dianugrahi sebagai Pahlawan Nasional.


DAFTAR PUSTAKA

            Hasnawi,Mangkualam.1992.Kesultanan Palembang.jakarta : Pt. Sumber 
Ispirasi.

            www.wikipedia.com



            

1 komentar:

  1. Coin Casino Review 2021 | Is This Site Legal in The US?
    Read 인카지노 our honest review of Coin Casino USA! Read what this US gambling site offers and claim great bonuses. Find out how to use this 💰 Casino: Slots, Blackjack, Live Dealers💰 Welcome Bonus: Welcome Package deccasino of Up to ₹1,000📱 Mobile: Android, iPhone, Tablet💰 Deposit Bonus: 100% up 메리트카지노총판 to $1000💰 Fast Payout Speed: 400+

    BalasHapus